NAMA : ERMELINDA JIHUT
NIM
: 2016230021
KELAS : KOMUNIKASI A
PRODI
: ILMU KOMUNIKASI
TEMA : IMPLEMENTASI
NILAI PANCASILA DALAM MENGHADAPI RADIKALISME
JUDUL : RADIKALISME AGAMA DI INDONESIA
Indonesia adalah negara yang menjadikan pancasila
sebagai ideologi negara. .Pancasila sebagai ideologi nasional Bangsa Indonesia
pada hakekatnya merefleksikan dimensi dari sebuah ideologi yang dimiliki oleh
suatu negara dan bangsa secara keseluruhan. Ideologi Pancasila merupakan
tatanan nilai yang digali (kristalisasi) dari nilai-nilai dasar budaya bangsa
Indonesia. Kelima sila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh sehingga
pemahaman dan pengamalannya harus mencakup semua nilai yang terkandung
didalamnya. Ketahanan ideologi diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan
ideologi bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan,
ancaman, hambatan serta gangguan yang dari luar/dalam, langsung/tidak langsung
dalam rangka menjamin kelangsungan kehidupan ideologi bangsa dan negara
Indonesia.
Indonesia dewasa ini dihadapkan dengan persoalan dan
ancaman radikalisme agama yang bertentangan dengan nilai-niai pancasila. Secara
semantik, radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkanperubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka). Dalam Ensiklopedi
Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa “radikalisme”
adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang
ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan
ideologi yang mereka anut. Dalam dua definisi ini “radikalisme” adalah upaya
perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim. Adapun dalam Kamus
Ilmiyah Populer karya Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (penerbit Arkola
Surabaya, cet. th. 1994) diterangkan bahwa “radikalisme” ialah faham politik
kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan
untuk mencapai taraf kemajuan. Dalam definisi terakhir ini “radikalisme”
cenderung bermakna perubahan positif.
Radikalime
dalam prespektif agama adalah pemicu utama terjadinyavradikalisme dengan adanya
ajaran cerita, dogama, dan simbolisme ritualitas dan idealitas yang ada dalam
agamanya dipahami oleh pemeluknya, agama menjadi bersifat particular (Mohtar
Mas’oed et.a,2001). Selain agama, radikalisme juga sudah “menjangkiti”
aliran-aliran sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Ada anggapan di kalangan
masyarakat awam bahwa radikalisme hanya dilakukan oleh agama tertentu saja, dan
anggapan itu memang tidak salah. Kelompok radikal di negeri ini tumbuh subur.
Mereka masih bebas melancarkan serangan dengan merusak nilai-nilai pancasila.
Secara
garis besar gerakan radikalisme disebabkan oleh faktor ideologi dan faktor
non-ideologi seperti ekonomi, dendam, sakit hati, ketidakpercayaan dan lain
sebagainya. Faktor ideologi sangat sulit diberantas dalam jangka pendek dan
memerlukan perencanaan yang matang karena berkaitan dengah keyakinan yang sudah
dipegangi dan emosi keagamaan yang kuat. Faktor ini hanya bisa diberantas
permanen melalui pintu masuk pendidikan (soft treatment) dengan cara melakukan
deradikalisasi secara evolutif yang melibatkan semua elemen. Pendekatan
keamanaan (security treatment) hanya bisa dilakukan sementara untuk mencegah
dampak serius yang ditimbulkan sesaat. Sementara faktor kedua lebih mudah untuk
diatasi, suatu contoh radikalisme yang disebabkan oleh faktor kemiskinan cara
mengatasinya adalah dengan membuat mereka hidup lebih layak dan sejahtera.
Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau
kekerasan fisik, ideologi pemikiran, kampanye yang massif dan demonstrasi sikap
yang berlawanan dan ingin mengubah mainstream dapat digolongkan sebagai sikap
radikal.
Implementasi
nilai-nilai pancasila dalam menghadapi
radikalisme di Indonesia masih belum maksimal dimana ditandai tumbuhnya
kelompok radikal contohnya adalah perspektif
agama faham Islam Irak dan Syiria (ISIS) yang baru booming di Indonesia,.
Banyak warga Indonesia mengaku tahu tentang ISIS. Ada yang mengatakan ISIS
sebagai kelompok teror yang sadis, ada juga yang menilai ISIS sebagai pelaku kekerasan yang
mengatasnamakan agama, bahkan menyatakan ISIS adalah pejuang-pejuang yang
hendak mendirikan agama Islam. Faham ini memberi pengajaran kebencian kepada
sesama umat islam, mereka juga belajar kemiliteran dan berjanji untuk
menyelamatkan dunia menurut pengajaran ISIS tersebut.
Fenomena
radikalisme di kalangan masayarakat ini seringkali disandarkan dengan paham
keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir dari berbagai sumbu,
seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Dalam konstelasi politik di
Indonesia, masalah radikalisme diIndonesia telah makin membesar karena
pendukungnya juga semakin meningkat.isu ISIS itu telah menyebabkan Islam dicap
sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan suci untuk
menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta
bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim sehingga sangat membebani
psikologi umat Islam secara keseluruhan. Berbagai aksi radikalisme terhadap
generasi muda kembali menjadi perhatian serius oleh banyak kalangan di tanah
air. Bahkan, serangkaian aksi para pelaku dan simpatisan pendukung, baik aktif
maupun pasif, banyak berasal dari berbagai kalangan.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama
atau gerakan-gerakan tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari
ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik dan semacamnya. Namun setelah
terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun pada awalnya bukan sebagai
pemicunya, tetap saja disalahkan.Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi
bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia.
Agama
tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan
tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur
dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan
zaman dan tempat. Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa
melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajarankan
agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan dan
keadilan.
Umat
beragama seharusnya melihat substansi negara dengan teritorialnya sebagai
tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan dengan sesama.
Sementara sekarang, kondisi masyarakat dan kesiapan pranata pemerintahan yang
terus berkembang, menuntut bentuk pemerintahan yang berbeda.
Nilai dasar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila
pertama Pancasila, dirinci ke dalam norma, aturan, hukum dasar yang tercermin
ke dalam banyak pasal di UUD 1945. Nilai dasar itu tidak semata-mata berdimensi
teologis yang mengisyaratkan bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan kepercayaan dan agamanya masing-masing,
melainkan juga berdimensi politik. Implikasinya, nilai dasar itu menuntut orang
untuk mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk
agama dan kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tidak
memaksakan sesuatu agama dan kepercayaan kepada orang lain, sebab agama dan
kepercayaan adalah hal yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan. Gerakan radikalisme bukan sebuah gerakan
spontan, tetapi menurut Said Aqiel Siradj (sekarang Ketua Umum PBNU) setidaknya
memiliki tiga faktor pendukung. Pertama, faktor sosial-politik. Gejala kekerasan
agama bisa didudukkan sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan.
Akan masalahnya dapat ditelusuri dari sudut (faktor) sosial-politik dalam
kerangka historisitas manusia. Kedua, faktor emosi keagamaan (”sentimen
keagamaan dan solidaritas keagamaan”) untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan
tertentu juga menjadi pendorong munculnya radikalisme. Ketiga, faktor kultural,
yang dianggap sebagai antitesa terhadap budaya sekularisme Barat yang dicap
sebagai musuh besar, juga memiliki andil besar bagi munculnya radikalisme.
Secara kultural di masyarakat selalu ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari
jerat jaring-jaring kebudayaan yang dianggap menyimpang. Di samping itu
kesalahan pemahaman agama juga menjadi faktor pendukung radikalisme agama.
SUMBER : jurnal
karya ilmiah Study Pemikiran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pemikiran Sendiri
Blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar