Just another free Blogger theme

Senin, 15 Mei 2017



NAMA : ERMELINDA JIHUT
NIM      : 2016230021
KELAS : KOMUNIKASI A
PRODI  : ILMU KOMUNIKASI

TEMA   :     IMPLEMENTASI NILAI PANCASILA DALAM MENGHADAPI                             RADIKALISME
      JUDUL :   RADIKALISME AGAMA DI INDONESIA
Indonesia adalah negara yang menjadikan pancasila sebagai ideologi negara. .Pancasila sebagai ideologi nasional Bangsa Indonesia pada hakekatnya merefleksikan dimensi dari sebuah ideologi yang dimiliki oleh suatu negara dan bangsa secara keseluruhan. Ideologi Pancasila merupakan tatanan nilai yang digali (kristalisasi) dari nilai-nilai dasar budaya bangsa Indonesia. Kelima sila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh sehingga pemahaman dan pengamalannya harus mencakup semua nilai yang terkandung didalamnya. Ketahanan ideologi diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan ideologi bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan yang dari luar/dalam, langsung/tidak langsung dalam rangka menjamin kelangsungan kehidupan ideologi bangsa dan negara Indonesia.
Indonesia dewasa ini dihadapkan dengan persoalan dan ancaman radikalisme agama yang bertentangan dengan nilai-niai pancasila. Secara semantik, radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkanperubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka). Dalam Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa “radikalisme” adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut. Dalam dua definisi ini “radikalisme” adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim. Adapun dalam Kamus Ilmiyah Populer karya Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (penerbit Arkola Surabaya, cet. th. 1994) diterangkan bahwa “radikalisme” ialah faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan. Dalam definisi terakhir ini “radikalisme” cenderung bermakna perubahan positif.
Radikalime dalam prespektif agama adalah pemicu utama terjadinyavradikalisme dengan adanya ajaran cerita, dogama, dan simbolisme ritualitas dan idealitas yang ada dalam agamanya dipahami oleh pemeluknya, agama menjadi bersifat particular (Mohtar Mas’oed et.a,2001). Selain agama, radikalisme juga sudah “menjangkiti” aliran-aliran sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Ada anggapan di kalangan masyarakat awam bahwa radikalisme hanya dilakukan oleh agama tertentu saja, dan anggapan itu memang tidak salah. Kelompok radikal di negeri ini tumbuh subur. Mereka masih bebas melancarkan serangan dengan merusak nilai-nilai pancasila.
Secara garis besar gerakan radikalisme disebabkan oleh faktor ideologi dan faktor non-ideologi seperti ekonomi, dendam, sakit hati, ketidakpercayaan dan lain sebagainya. Faktor ideologi sangat sulit diberantas dalam jangka pendek dan memerlukan perencanaan yang matang karena berkaitan dengah keyakinan yang sudah dipegangi dan emosi keagamaan yang kuat. Faktor ini hanya bisa diberantas permanen melalui pintu masuk pendidikan (soft treatment) dengan cara melakukan deradikalisasi secara evolutif yang melibatkan semua elemen. Pendekatan keamanaan (security treatment) hanya bisa dilakukan sementara untuk mencegah dampak serius yang ditimbulkan sesaat. Sementara faktor kedua lebih mudah untuk diatasi, suatu contoh radikalisme yang disebabkan oleh faktor kemiskinan cara mengatasinya adalah dengan membuat mereka hidup lebih layak dan sejahtera.
Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau kekerasan fisik, ideologi pemikiran, kampanye yang massif dan demonstrasi sikap yang berlawanan dan ingin mengubah mainstream dapat digolongkan sebagai sikap radikal.
Implementasi  nilai-nilai pancasila dalam menghadapi radikalisme di Indonesia masih belum maksimal dimana ditandai tumbuhnya kelompok  radikal contohnya adalah perspektif agama faham Islam Irak dan Syiria (ISIS) yang baru booming di Indonesia,. Banyak warga Indonesia mengaku tahu tentang ISIS. Ada yang mengatakan ISIS sebagai kelompok teror yang sadis, ada juga yang menilai  ISIS sebagai pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama, bahkan menyatakan ISIS adalah pejuang-pejuang yang hendak mendirikan agama Islam. Faham ini memberi pengajaran kebencian kepada sesama umat islam, mereka juga belajar kemiliteran dan berjanji untuk menyelamatkan dunia menurut pengajaran ISIS tersebut.
 Fenomena radikalisme di kalangan masayarakat ini seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir dari berbagai sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Dalam konstelasi politik di Indonesia, masalah radikalisme diIndonesia telah makin membesar karena pendukungnya juga semakin meningkat.isu ISIS itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan suci untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim sehingga sangat membebani psikologi umat Islam secara keseluruhan. Berbagai aksi radikalisme terhadap generasi muda kembali menjadi perhatian serius oleh banyak kalangan di tanah air. Bahkan, serangkaian aksi para pelaku dan simpatisan pendukung, baik aktif maupun pasif, banyak berasal dari berbagai kalangan.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-gerakan tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik dan semacamnya. Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun pada awalnya bukan sebagai pemicunya, tetap saja disalahkan.Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia.
Agama tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat. Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajarankan agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan.
Umat beragama seharusnya melihat substansi negara dengan teritorialnya sebagai tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan dengan sesama. Sementara sekarang, kondisi masyarakat dan kesiapan pranata pemerintahan yang terus berkembang, menuntut bentuk pemerintahan yang berbeda.
Nilai dasar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila, dirinci ke dalam norma, aturan, hukum dasar yang tercermin ke dalam banyak pasal di UUD 1945. Nilai dasar itu tidak semata-mata berdimensi teologis yang mengisyaratkan bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan kepercayaan dan agamanya masing-masing, melainkan juga berdimensi politik. Implikasinya, nilai dasar itu menuntut orang untuk mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tidak memaksakan sesuatu agama dan kepercayaan kepada orang lain, sebab agama dan kepercayaan adalah hal yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan.  Gerakan radikalisme bukan sebuah gerakan spontan, tetapi menurut Said Aqiel Siradj (sekarang Ketua Umum PBNU) setidaknya memiliki tiga faktor pendukung. Pertama, faktor sosial-politik. Gejala kekerasan agama bisa didudukkan sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Akan masalahnya dapat ditelusuri dari sudut (faktor) sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia. Kedua, faktor emosi keagamaan (”sentimen keagamaan dan solidaritas keagamaan”) untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu juga menjadi pendorong munculnya radikalisme. Ketiga, faktor kultural, yang dianggap sebagai antitesa terhadap budaya sekularisme Barat yang dicap sebagai musuh besar, juga memiliki andil besar bagi munculnya radikalisme. Secara kultural di masyarakat selalu ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari jerat jaring-jaring kebudayaan yang dianggap menyimpang. Di samping itu kesalahan pemahaman agama juga menjadi faktor pendukung radikalisme agama.


SUMBER : jurnal karya ilmiah Study Pemikiran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
                         Pemikiran Sendiri
                         Blogspot.com


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 komentar:

Posting Komentar