TUGAS DASAR MANAJEMEN
NAMA : ERMELINDA
JIHUT
NIM : 2016230021
KELAS :
KOMUNIKASI A

FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
TRIBHUWANA TUNGGADEWI ,
MALANG
KASUS PENINDASAN TERHADAP BURUH
Akhir-akhir ini mata kita disibukkan dengan sajian
media mengenai masalah-masalah perburuhan khususnya di Indonesia.Semua itu
mengindikasikan, bahwa dunia perburuhan kita belum tertata sebagaimana
mestinya. Isu-isu untuk melakukan demo, tersaji setiap saat. Hal ini berarti,
ada masalah yang mendasar yang belum terselesaikan. Masalah yang mendasar itu,
tentunya terkait regulasi dan kebijakan pemerintah. Terkait dengan UU No13/2003
dan kebijakan upah minimum. Karena
itu, yang diperlukan adalah kejujuran semua pihak. Dunia usaha dituntut jujur
untuk memberikan upah yang layak, sementara pemerintah selayaknya harus
memfasilitasi, sehingga dunia usaha bisa menjadi wahana yang mensejahterakan
pekerja. Masalah ini, akan sangat lebih baik , kalau bisa dituangkan dalam
regulasi / perundangan dan kebijakan terkait kesejahteraan buruh.
Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi karena
kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem
kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa
berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Dengan
kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan
tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja,
melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.
Sedangkan
dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh
kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living
cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan
kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain,
para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya
mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka.
Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para
pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang
kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu
kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
Jadi, masalah perburuhan akan selalu ada selama
relasi antara buruh dan pengusaha dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka
telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan
menghadapi provokasi kaum Sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya
sekedar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa
tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya
klaim bohong dan kosong.
Dalam
perspektif politik ekonomi, kaum buruh selalu berada dalam kungkungan nasib
yang menyedihkan. Mereka berada dalam kekuasaan dan kendali pemilik modal atau
majikan. Di balik tenaga mereka yang mengalami eksploitasi luar biasa, upah
yang mereka nikmati kerap tidak cukup untuk (sekadar) memenuhi kebutuhan pokok.
Bahkan, tidak jarang upah hasil kerja mereka sebulan penuh hanya cukup untuk
bertahan hidup selama 10 hari. Di sisi lain, mereka pun selalu berada dalam
ancaman bayang-bayang PHK (pemutusan hubungan kerja) secara sepihak dengan
pesangon yang ala kadarnya.
Gambaran di atas merupakan realitas yang tidak bisa
dihindarkan kala paradigma ekonomi yang digunakan ialah paradigma
industrial-kapitalistik. Dalam paradigma industrial-kapitalistik ini, pemilik
modal (majikan) cenderung memposisikan buruh (pekerja) sebagai bagian dari
faktor produksi. Buruh kerapkali ditekan untuk bekerja tanpa mengenal lelah
(tak ubahnya sebuah mesin produksi), tetapi upah yang dibayarkan sangat rendah.
Hal ini tidak lepas dari prinsip ekonomi kapitalis itu sendiri bahwa untuk
mendapatkan profit (untung) sebesar-besarnya, maka biaya produksi harus ditekan
sekecil-kecilnya.
Dalam
lingkungan negara yang menganut sistem sekuler-kapitalisme, realitas semacam
itu adalah sebuah keniscayaan. Ada beberapa faktor yang dijadikan sebagai alat
pembenar (legitimator) berkaitan dengan eksploitasi buruh. Di antaranya:
v Tenaga
buruh disamakan dengan faktor-faktor produksi lainnya.
v Nilai
buruh disamakan dengan dinilai barang.
v Keberhargaan
(martabat) buruh tidak lebih terhormat daripada alat/faktor produksi lainnya.
Karena
itu, tidak aneh bila para majikan yang berwatak kapitalis terus berburu
tempat-tempat investasi untuk mengembangkan modal (memupuk kekayaan) di
daerah-daerah yang taraf kehidupan masyarakatnya masih rendah. Hal ini tidak
lain karena ideologi para majikan tersebut lebih bersifat sekuler-kapitalistis.
Bagi mereka, keuntungan sebanyak-banyaknya merupakan tujuan, meski untuk itu
harus melanggar etika kemanusiaan.
Buruh
yang bekerja di perusahaan tersebut mau tidak mau harus menerima kebijakan
perusahaan karena posisi mereka yang lemah. Dalam perjalanannya gerakan buruh
pasca reformasi (selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini), dapat dilihat
bahwa kehidupan buruh tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat misalnya,
meskipun pada saat ini pemerintah sudah mengeluarkan beberapa regulasi mengenai
perburuhan, akan tetapi buruh tetap saja menerima upah yang relative rendah
dengan jam kerja panjang dan keselamatan kerja yang kurang memadai.
Posisi
tawar pekerja dan masyarakat miskin yang rendah di tengah melimpahnya jumlah
pencari kerja, pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk migran yang
mencoba mengadu nasib mencari kerja di kota besar adalah titik-titik lemah yang
seringkali disadari benar oleh para investor untuk membuat para pekerjanya
pasrah menerima nasib menerima upah yang tak pernah beringsut ke taraf yang
terkategori layak dan adil.
Perusahaan
melalui mandor yang mempekerjakan pekerja harian, melakukan penindasan secara
tidak langsung, hal ini juga diperkuat dengan adanya pengetatan aturan kerja
sehingga buruh yang dianggap tidak sesuai dengan standart perusahaan akan
diberhentikan. Pada sisi lain, buruh merasa kehadiran para pekerja harian
tersebut menyebabkan ketidaknyamanan dalam menjalankan pekerjaannya. Munculnya
berbagai macam isu seperti akan dilakukan PHK pada buruh, penggantian tenaga
buruh dengan mesin, dan lain sebagainya menjadikan para pekerja semakin sering
membicarakan apa yang saat ini menjadi kekhawatiran mereka seperti adanya PHK,
peningkatan beban kerja, dan penambahan jam kerja.
TEORI YAG DIGUNAKAN ADALAH TEORI
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA KONTEMPORER.
Dari buku Manajemen Sumber Daya
Manusia karya Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA halaman 39-40 menyatakan bahwa Minat
yang semakin meluas di kalangan para ilmuan
tentang manajemen sumber daya manusia berakibat positif dalam mengelola
sumber daya manusia dalam organisasi. Semua perkembangan yang terjadi dapat
disimpulkan bermuara pada suatu prinsip yang sangat fundamental, yaitu bahwa “Manusia
Tidak Mungkin Diperlakukan Sama Dengan Alat Produksi Lainnya, Melainkan Harus
Diperlakukan Sama Dengan Harkat Dan Martabatnya”. Namun dari fenomena diatas
jelas bahwa tenaga manusia(buruh) disamakan
dengan faktor-faktor produksi lainnya, nilai
buruh disamakan dengan dinilai barang, keberhargaan (martabat) buruh tidak
lebih terhormat daripada alat/faktor produksi lainnya. Dalam hal ini ruang
gerak bagi buruh utuk menggunakan imajinasi, inovasi dan kreativitasnya menjadi
sangat sempit. Berarti tidak menempatkan sumber daya manusia sebagai
unsureterpenting.
Timbulnya berbagai teori motivasi
pada tahun empat puluhan, dengan Abraham H. Maslow sebagai pelopornya,
merupakan bukti kongkret. Semua teori motivasi menekankan bahwa manusia
mempunyai kebutuhan yang sangat kompleks, tidak hanya menyangkut peningkatan
taraf hidup dalam arti kebendaan akan tetapi
ada berbagai kebutuhan lain seperti “Keamanan, Sosial, Prestise,
Pengembangan Diri”, yang harus dipenuhi dan dipuaskan. Jadi kalau dikaitan dengan kasus buruh diatas, Masalah-masalah
keadilan, kewajaran, harapan dan kecocokan pekerjaan dengan karakteristik
seseorang yang seharusnya diperlakukan sesuai harkat dan martabat sebagai
manusia malah karena dia hanyalah
seorang buruh majikan memperlakukan dia
secara tidak adil dan tidak wajar
(perlakuan yang tidak manusiawi), sehingga kebutuhan akan keamanannya, Sosial,
Prestise, Pengembangan Diri tidak terpenuhi atau terpuaskan.
0 komentar:
Posting Komentar