Just another free Blogger theme

Senin, 15 Mei 2017




         TUGAS DASAR MANAJEMEN
        
NAMA : ERMELINDA JIHUT
NIM      : 2016230021
KELAS : KOMUNIKASI A
  

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHfcdH3ySS_l2f58XpNwKBmUlq_ds9wAMDolE8Wyg2haPAzhEkzbd6bxJ71ANswlS8vJU-GGGX0mbHiGy2lmMS4pRAx1WoJnetMrtG8Nuxutcc4tjl2POdf09XshAdJ3kwv94q4i3HmC4/s1600/LOGO+UNITRI.jpg





FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TRIBHUWANA  TUNGGADEWI  ,
MALANG




KASUS PENINDASAN TERHADAP BURUH
Akhir-akhir ini mata kita disibukkan dengan sajian media mengenai masalah-masalah perburuhan khususnya di Indonesia.Semua itu mengindikasikan, bahwa dunia perburuhan kita belum tertata sebagaimana mestinya. Isu-isu untuk melakukan demo, tersaji setiap saat. Hal ini berarti, ada masalah yang mendasar yang belum terselesaikan. Masalah yang mendasar itu, tentunya terkait regulasi dan kebijakan pemerintah. Terkait dengan UU No13/2003 dan kebijakan upah minimum. Karena itu, yang diperlukan adalah kejujuran semua pihak. Dunia usaha dituntut jujur untuk memberikan upah yang layak, sementara pemerintah selayaknya harus memfasilitasi, sehingga dunia usaha bisa menjadi wahana yang mensejahterakan pekerja. Masalah ini, akan sangat lebih baik , kalau bisa dituangkan dalam regulasi / perundangan dan kebijakan terkait kesejahteraan buruh.
Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi karena kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Dengan kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja, melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.
Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
Jadi, masalah perburuhan akan selalu ada selama relasi antara buruh dan pengusaha dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum Sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya sekedar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya klaim bohong dan kosong.
Dalam perspektif politik ekonomi, kaum buruh selalu berada dalam kungkungan nasib yang menyedihkan. Mereka berada dalam kekuasaan dan kendali pemilik modal atau majikan. Di balik tenaga mereka yang mengalami eksploitasi luar biasa, upah yang mereka nikmati kerap tidak cukup untuk (sekadar) memenuhi kebutuhan pokok. Bahkan, tidak jarang upah hasil kerja mereka sebulan penuh hanya cukup untuk bertahan hidup selama 10 hari. Di sisi lain, mereka pun selalu berada dalam ancaman bayang-bayang PHK (pemutusan hubungan kerja) secara sepihak dengan pesangon yang ala kadarnya.
Gambaran di atas merupakan realitas yang tidak bisa dihindarkan kala paradigma ekonomi yang digunakan ialah paradigma industrial-kapitalistik. Dalam paradigma industrial-kapitalistik ini, pemilik modal (majikan) cenderung memposisikan buruh (pekerja) sebagai bagian dari faktor produksi. Buruh kerapkali ditekan untuk bekerja tanpa mengenal lelah (tak ubahnya sebuah mesin produksi), tetapi upah yang dibayarkan sangat rendah. Hal ini tidak lepas dari prinsip ekonomi kapitalis itu sendiri bahwa untuk mendapatkan profit (untung) sebesar-besarnya, maka biaya produksi harus ditekan sekecil-kecilnya.
Dalam lingkungan negara yang menganut sistem sekuler-kapitalisme, realitas semacam itu adalah sebuah keniscayaan. Ada beberapa faktor yang dijadikan sebagai alat pembenar (legitimator) berkaitan dengan eksploitasi buruh. Di antaranya:
v  Tenaga buruh disamakan dengan faktor-faktor produksi lainnya.
v  Nilai buruh disamakan dengan dinilai barang.
v  Keberhargaan (martabat) buruh tidak lebih terhormat daripada alat/faktor produksi lainnya.
Karena itu, tidak aneh bila para majikan yang berwatak kapitalis terus berburu tempat-tempat investasi untuk mengembangkan modal (memupuk kekayaan) di daerah-daerah yang taraf kehidupan masyarakatnya masih rendah. Hal ini tidak lain karena ideologi para majikan tersebut lebih bersifat sekuler-kapitalistis. Bagi mereka, keuntungan sebanyak-banyaknya merupakan tujuan, meski untuk itu harus melanggar etika kemanusiaan.
Buruh yang bekerja di perusahaan tersebut mau tidak mau harus menerima kebijakan perusahaan karena posisi mereka yang lemah. Dalam perjalanannya gerakan buruh pasca reformasi (selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini), dapat dilihat bahwa kehidupan buruh tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat misalnya, meskipun pada saat ini pemerintah sudah mengeluarkan beberapa regulasi mengenai perburuhan, akan tetapi buruh tetap saja menerima upah yang relative rendah dengan jam kerja panjang dan keselamatan kerja yang kurang memadai.
Posisi tawar pekerja dan masyarakat miskin yang rendah di tengah melimpahnya jumlah pencari kerja, pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk migran yang mencoba mengadu nasib mencari kerja di kota besar adalah titik-titik lemah yang seringkali disadari benar oleh para investor untuk membuat para pekerjanya pasrah menerima nasib menerima upah yang tak pernah beringsut ke taraf yang terkategori layak dan adil.
Perusahaan melalui mandor yang mempekerjakan pekerja harian, melakukan penindasan secara tidak langsung, hal ini juga diperkuat dengan adanya pengetatan aturan kerja sehingga buruh yang dianggap tidak sesuai dengan standart perusahaan akan diberhentikan. Pada sisi lain, buruh merasa kehadiran para pekerja harian tersebut menyebabkan ketidaknyamanan dalam menjalankan pekerjaannya. Munculnya berbagai macam isu seperti akan dilakukan PHK pada buruh, penggantian tenaga buruh dengan mesin, dan lain sebagainya menjadikan para pekerja semakin sering membicarakan apa yang saat ini menjadi kekhawatiran mereka seperti adanya PHK, peningkatan beban kerja, dan penambahan jam kerja.






TEORI YAG DIGUNAKAN ADALAH TEORI MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA KONTEMPORER.
            Dari buku Manajemen Sumber Daya Manusia karya Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA halaman 39-40 menyatakan bahwa Minat yang semakin meluas di kalangan para ilmuan  tentang manajemen sumber daya manusia berakibat positif dalam mengelola sumber daya manusia dalam organisasi. Semua perkembangan yang terjadi dapat disimpulkan bermuara pada suatu prinsip yang sangat fundamental, yaitu bahwa “Manusia Tidak Mungkin Diperlakukan Sama Dengan Alat Produksi Lainnya, Melainkan Harus Diperlakukan Sama Dengan Harkat Dan Martabatnya”. Namun dari fenomena diatas jelas bahwa tenaga manusia(buruh)  disamakan dengan faktor-faktor produksi lainnya,  nilai buruh disamakan dengan dinilai barang, keberhargaan (martabat) buruh tidak lebih terhormat daripada alat/faktor produksi lainnya. Dalam hal ini ruang gerak bagi buruh utuk menggunakan imajinasi, inovasi dan kreativitasnya menjadi sangat sempit. Berarti tidak menempatkan sumber daya manusia sebagai unsureterpenting.
            Timbulnya berbagai teori motivasi pada tahun empat puluhan, dengan Abraham H. Maslow sebagai pelopornya, merupakan bukti kongkret. Semua teori motivasi menekankan bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang sangat kompleks, tidak hanya menyangkut peningkatan taraf hidup dalam arti kebendaan akan tetapi  ada berbagai kebutuhan lain seperti “Keamanan, Sosial, Prestise, Pengembangan Diri”, yang harus dipenuhi dan dipuaskan. Jadi kalau dikaitan  dengan kasus buruh diatas, Masalah-masalah keadilan, kewajaran, harapan dan kecocokan pekerjaan dengan karakteristik seseorang yang seharusnya diperlakukan sesuai harkat dan martabat sebagai manusia malah  karena dia hanyalah seorang buruh  majikan memperlakukan dia secara tidak adil dan tidak wajar  (perlakuan yang tidak manusiawi), sehingga kebutuhan akan keamanannya, Sosial, Prestise, Pengembangan Diri tidak terpenuhi atau terpuaskan.


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 komentar:

Posting Komentar